Gelisah yang Harus Dibantah

 


Dalam segala kalangan mahasiswa terkhusus pada warga pergerakan. Sudah teruji bahwa kadar intelektual sudah pada titik yang bisa dikatakan sebagaig ulul albab (haus akan keilmuan). Seringkali mereka mempelajari teori ideologis hingga tataran taktis. Berbekal nalar kritis hingga dasar-dasar yang dipakai sebagai penguat. Warga pergerakan benar-benar sangat diapresiasif dalam tarafan tersebut. Tapi dalam tulisan ini kita tidak akan membahas terkait itu, melainkan terkait bagaimana kita merasakan keresahan yang menyakitkan menurut penulis.

Penyakit tersebut merupakan kegelisahan untuk merealisasikan ataupun mendokumentasikan apa hasil dari diskusi yang sangat mengasyikkan itu. Mengutip ungkapan dari sahabat Pramoedya Ananta yang sangat tersyohor bahwa “Jika ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah “. Memang sangat mengena dan terbukti ungkapan tersebut. Kita yang hari ini sangat famous akan menghilang nanti karena tidak ada jejak sejarah yang bisa dipelajari hanya tersisa dongeng-dongeng yang terpatri. Memang terasa menyakitkan terkait kegelisahan untuk menggores tinta eh tapi sekarang udah lebih canggih lagi yang dulunya harus mengunakan tinta sekarang dalam tarafan modernitas sudah memudahkan kita untuk menulis.

Kegelisahan untuk menulis memang sangat menyakitkan bagi kita yang ingin memiliki rekam jejak. Iya memang seperti itu karena kita hanya akan bisa bercerita atau hanya bisa mendongeng tanpa bisa memberikan rekaman melalui tulisan yang bisa dibaca.

Kegelisahan ini memiliki beberapa faktor secara empiris menurut penulis. Malu untuk memulai, memiliki rasa kekhawatiran yang terlalu berlebihan, memiliki tingkat ke-PD-an yang bisa dikatakan labil, terjebak zona yang sangat tidak bermanfaat, keegoisan dalam waktu yang hanya dilakukan untuk rebahan, bermain gadget, dan yang harus digaris dibawahi, tidak mau untuk memulai dan takut salah.

Mungkin itu hanya beberapa faktor saja. Iya memang asyik terjebak zona seperti itu, tapi jika lebih bisa memanfaatkan waktu apa salahnya? Karena apa? Dalam hidup, waktu sangat terasa cepat berjalan. Merebahkan badan di waktu siang, tiba-tiba saking asyiknya waktu sudah menunjukkan senja saja. Padahal dalam perhitungan waktu, kita sangat benar-benar bisa untuk menjadi seseorang yang produktif entah itu membaca buku ataupun menulis beberapa rumusan. Bentuk kegelisahan ini sangat memberontak tapi susah dalam merealisasikannya karena ada beberapa faktor penghambat tadi.

Yang perlu di rekontruksi adalah pola pemikiran agar kita bisa memulai. Karena beberapa faktor di atas memang membuat keruh pemikiran. Mungkin hal kecil yang bisa dilakukan adalah realisasi niat untuk memulai dan mendobrak zona-zona kurang bermanfaat.

Untuk itu mulai terlebih dahulu tak perlu untuk takut salah. Toh manusia pasti memiliki kesalahan dan kesalahan bukanlah halangan melainkan dobrakan semangat untuk memperindah diri untuk lebih baik lagi. Jika takut mendapatkan komentar, sedikit merubah paradigma takut tersebut menjadi kartu as yang membuat analisis untuk perbaikan. Mungkin untuk memulai dan mendobrak kegelisahan tersebut sangatlah susah jika tidak ada bentuk aksi untuk memulai. Agar yang didapat dalam membaca dan berdiskusi bukan hanya sekedar ingatan, tapi berbentuk keproduktifan yang lebih berguna lagi.

Mungkin ini adalah bentuk pemberontakan ke dalam diri. Karena tanpa ada pembenahan, kita tidak akan bisa berkembang dan hanya jalan ditempat saja. Lah.. Beberapa kalimat ini merupakan hasil dari diskusi pada malam Mingu, tertanggal 27-02-2021, bersama seorang penulis yang sering kita kenal yaitu Sahabat Saiful Amin, seorang ketua komisariat yang sedang mampir berkunjung dalam agenda Sekolah Islam Gender ke-III KOPRI Rayon Abu Nawas.

Berawal dari cerita atau curhat bahasa eksisnya hari ini terkait bagaimana mengelola ladang media literasi milik rayon. Yang kemarin sempat mati suri dan ingin hidup kembali.


Komentar

Postingan Populer